Minggu, 21 Agustus 2016

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1. Lahirnya Filsafat
Manusia adalah makhluk yang dapat kagum atau heran terhadap hal-hal yang dijumpainya. Ia heran terhadap lingkungan hidupnya bahkan dapat heran terhadap dirinya sendiri. Kekaguman dan keheranan (wonder) manusia akan diikuti dengan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang bercorak kefilsafatan berusaha untuk mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakan itu. Sehingga banyak filsuf menganggap rasa heran (dalam bahasa Yunani thaumansia) sebagai asal filsafat.

Menurut Aristoteles, filsafat dimulai dengan suatu rasa kagum. Kekaguman itu timbul dari suatu aporia, yaitu suatu kesulitan karena adanya perbincangan-perbincangan yang saling bertentangan. Istilah aporia berarti problem, pertanyaan, atau tanpa jalan keluar.

Awal kemunculan filsafat :

a. Ketika manusia kagum terhadap dunia dan berusaha untuk menerangkan gejala-gejalanya agar terhindar dari ketidaktahuan. Pada tahap awal kekaguman manusia terarah pada hal-hal di luar dirinya.

b. Kesangsian, keraguan atau sikap skeptis. Agustinus dan Rene Descartes menyatakan kesangsian sebagai sumber utama pemikirannya. Semua gejala alam dijelaskan oleh mitos dan dongeng. Akan tetapi penjelasan yang dikemukakan itu tidak dapat dibuktikan dan tidak masuk akal. Sehingga para filsuf meragukan atau menyangsikan cerita-cerita mitos dan mulai berspekulasi dengan menggunakan akalnya.

c. Manusia takjub, kagum, dan heran terhadap dirinya sendiri.
Manusia mulai bertanya-tanya : apa dan siapa manusia itu ? Dari mana asal manusia ? Ke mana pada akhirnya hidup manusia itu ? Dengan menggunakan akalnya, para filsuf akhirnya menghasilkan pemikiran yang dapat dibuktikan dan diteliti kebenarannya oleh orang lain.


2. Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” yang artinya “cinta” dan “sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom” (Nasution, 1973). Jadi secara harfiah istilah “filsafat” mengandung makna cinta kebijaksanaan. Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Namun demikian jikalau kita membahas pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasanya maka mencakup banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia, alam, pengetahuan, etika, logika, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul pula filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu antara lain filsafat politik, sosial, hukum, bahasa, ilmu pengetahuan, agama dan bidang-bidang ilmu lainnya.

Mempelajari filsafat merupakan upaya untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.

Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (bahasa Arab), philosophy (bahasa Inggris), philosophia (bahasa Latin), philosophie (bahasa Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia yang merupakan rangkaian dari kata philein yang berarti mencintai, sedangkan philos berarti teman. Selanjutnya istilah shopos berarti bijaksana, sedangkan shopia berarti kebijaksanaan.

Dengan demikian ada dua arti filsafat secara etimologi :

1. Mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (mengacu pada asal kata philein dan shopos)
2. Teman kebijaksanaan (mengacu pada asal kata philos dan shopia)

Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut.

Pertama : Filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian .

1. Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu. Misalnya rasionalisnem materialism, pragmatisme dan lain sebagainya.

2. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfisafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan yang bersumber pada akal manusia.

Kedua : Filsafat sebagai suatu proses, yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengna menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan suatu kumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai suatu nilai tertentu tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengna menggunakan suatu metode tersendiri.

Pengertian filsafat menurut beberapa filsuf

Plato (427 – 347 SM) Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.

Aristoteles (384 – 322 SM)

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi keberanan, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika, atau filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda.

Marcus Tullius Cicero
Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang Maha Agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

Immanuel Kant (1724 – 1804 M) Filsafat merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : apakah yang dapat kita ketahui ? (dijawab oleh metafisika), apakah yang dapat kita kerjakan ? (dijawab oleh etika), sampai di manakah pengharapan kita ? (dijawab oleh antropologi).

Adapun cabang-cabang filsafat yang pokok adalah sebagai berikut :

1. Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di ballik fisis, yang meliputi bidang-bidang, ontologi, kosmologi, dan antropologi.

2. Epistemologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.

3. Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu pengetahuan.

4. Logika, yang berkaitan dengna persoalan filsafat berfikir, yaitu rumus-rumus dan dalil-dalil berfikir yang benar.

5. Etika, yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.

6. Estetika, yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan.



Filsafat Pancasila
Setiap bangsa di dunia senantiasa memiliki cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Ernest Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbentuknya suatu bangsa, sehingga unsur kesatuan atau nasionalisme suatu bangsa ditentukan juga oleh sejarah terbentuknya bangsa tersebut. Hal inilah dalam wacana ilmiah dewasa ini diistilahkan bahwa pancasila sebagai paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Istilah ‘paradigma’ pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama dala kaitannya dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut yaitu Thomas S. khun dalam bukunya yang bertitel The Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti saripengertian ’paradigma’ adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoristis yang umum yang merupakan suatu sumber nilai.

Berdasarkan hakikatnya manusia dalam kenyataan objektivnya bersifat ganda bahkan multidimensi. Atas dasar kajian ilmu sosial tersebut kemudian dikembangkanlah metode baru berdasarkan hakikat dan sifat paradigma ilmutersebut, maka berkembanglah metode kualitatif. Dalam masalah yang populer iniistilah ‘paradigma’ berkembang menjadi suatu terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka fikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Negara adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia individu-makhluk sosial (natonogoro, 1975), yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan geografis sebagai ruang tempat bangsa tersebut hidup. Akan tetapi harus diingat bahwa manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Secara rinci filsafat Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan adalah merupakan Identitas Nasional Indonesia. Hal ini didasarkan pada satu realitas bahwa kausa materialis atau asal nilai-nilai pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya ciri khas sifat, serta karakter bangsa Indonesia tercermin daam suatu sistem nilai filsafat Pancasila. Selain itu filsafat Pancasila merupakan dasar Negara dan Konstitusi ( UUD Negara ) Indonesia, sebagaimana telah diketahui filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, memiliki konsikuensi sagala peraturan perundang-undangan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.Dengan perkataanlain Pancasila merupakan sumber hukum dasar Indonesia, sehingga seluruh peraturan hukum positif Indonesia diderivasikan atau dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.

Sebagai suatu negara demokrasi kehidupan kenegaraan Indonesia mendasarkan pada rule of law, karena Negara didasarkan pada tem konstitusionalisme. oleh karena itu, dalam hubungannya dengan pelaksanaan demokrasi baik secara normatif maupun praksis, harus mendasarkan pada kondisi objektif bangsa yang memiliki pandangan hidup filsafat Pancasila. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berlandaskan Pancasila, dalam arti demokasi tidak bersifat individualistik, tidak bersifat sekuler karena demokrasi di Indonesia harus ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila kedua Pancasila adalah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ yang secara filosofis menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan negara perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, menjadi suatu keharusan. Pancasila juga merupakan dasar dan basis geopolitik dan geostrategi Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa geopolotik diartikan sebagai politik atau kebijaksanaan dan strategi nasional, Indonesia.

Wawasan nusantara dilandasi oleh kebangsaan Indonesia, dan hal itu dilambangkan secara literal pada lima sila garuda Pancasila, serta seloka Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai konsekuensi dari konsep geopolitik Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filosofi geostrategi Indonesia. Geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagai mana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional dengan memanfaatkan geopolitik Indonesia. Dengan pancasila sebagai dasarnya, maka pembangunan Indonesia akan memiliki visi yang jelas dan terarah.

Sebagai sistem ilmiah, Pancasila harus memenuhi pengetahuan ilmiah, yaitu :

Memiliki obyek yang khas
Milik masyarakat (komunal) atau collectiveconsiousness
Selalu dipertanyakan dengan skeptis
Memiliki metode yang khas
Tersusun secara sistematis
Memiliki nilai kebenaran
Kebenarannya disepakati bersama
Memiliki sifat universal
Pancasila memiliki objek yang khas
Pancasila terdiri dari lima sila yang spesifik berasal nilai-nilai dan norma yang berasal dari/alam masyarakat Indonesia, sehingga memenuhi persyaratan memiliki objek yang khas dan merupakan kesadaran kolektif.

Pancasila milik masyarakatPancasila tumbuh dan berkembang dari kebudayaan masyarakat Indonesia dan menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Pancasila selalu dipertanyakan secara skeptisPancasila selalu dipertanyakan dengan skeptis, mengacu pada suatu kondisi bahwa Pancasila selalu bisa diuji ketangguhan dan kebenarannya mulai dari awal kemerdekaan sampai saat ini juga.
Pancasila memiliki metode yang khas
Pancasila tersusun secara sistematis Tersusun secara sistematis merujuk pada hierarki yang saling mengisi satu sama lain. Sebagai contoh sila Ketuhanan Yang Maha Esa memayungi keempat sila lainnya yang bersifat organis majemuk tunggal, yaitu tiap sila mempunyai kedudukan dan fungsi sendiri-sendiri, antara sila yang satu dengan yang lain saling melengkapi.

Pancasila memiliki nilai kebenaranKebenaran Pancasila disepakati bersama

Pancasila memiliki sifat universal Kesatuan sila-sila Pancasila berdasarkan pada kodrat yang menjadi bawaan manusia, Pancasila merupakan rumusan dari sifat-sifat kodrat manusia sewajarnya. Karena itulah Pancasila memiliki sifat universal.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana pengetahuan ilmiah, Pancasila dapat dikembangkan sebagai suatu sistem. Pancasila sebagai sistem filsafat harus mempunyai konsep ontologis, yakni hakikat apa yang dikaji ; konsep epistemologi, yakni bagaimana cara mendapatkan pengetahuan Pancasila secara benar ; dan konsep aksiologi mengenai nilai kegunaan Pancasila terutama sebagai falsafah dan peranan hidup bangsa Indonesia.

Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Suatu kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling berhubungan dan saling ketergantungan
4. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974).

 Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang bersifat OrganisKesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis pada hakikatnya secara fisolofis bersumber pada hakikat dasar ontologism manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia “monopluralis” yang memiliki unsur-unsur, “susunan kodrat” jasmani-rokhani, “sifat kodrat” individu-makhluk sosial, dan “kedudukan kodrat” sebagai pribadi berdiri-makhluk Tuhan yang Maha Esa. Unsur-unsur hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis. Setiap unsur memiliki fungsi masing namun saling berhubungan. Oleh karena sila-sila Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia “monoplurakis” yang merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis pula.

Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologism, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana, dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramial, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila Pancasila dalma urut-urutan lusa (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasal ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila (lihat Notonagoro, 1984 : 61 dan 1975 : 52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialism, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.

1. Dasar Ontologi Sila-Sila Pancasila
Konsep Ontologi mengacu pada objek/isi arti Pancasila yang abstrak dan universal yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan dimaksudkan tidak hanya terdapat dalam pikiran atau angan-angan, melainkan menjadi dasar filsafat Negara.

Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis meliputi dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yangberkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatana yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975 : 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatnya jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.

Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara antologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rokhani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975 : 53).

2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Secara epistemologis Pancasila sebagai sistem filsafat mengajak untuk menggali bagaimana cara mendapatkan pengetahuan secara benar. Berdasarkan pemikiran filsafat yang lebih menekankan pemikiran secara komprehensif. Metode yang digunakan bisa melalui logika berpikir maupun dengan menggunakan metode ilmiah yaitu induktif dan deduktif. Intinya, kebenaran Pancasila selalu bisa diuji kebenarannya.

Namun berbicara mengenai filsafat Pancasila sebenarnya bukanlah berarti membahas tentang kebenaran dari Pancasila, melainkan mengenai filsafat Pancasila justru menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai referensi kebenaran.

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat

Pancasila (Soeryanto, 1991 : 50). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996 : 32).

Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologis yaitu : pertama tentang sumber pengetahunan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahunan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia. (Titus, 1984 : 20).

3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Secara aksiologi realisasi, pelaksanaan atau penjelmaan isi arti Pancasila yang hakiki memerlukan pengkhususan isi rumusan yang umum kolektif dan khusus. Isi arti umum kolektif adalah realisasinya dalam bidang-bidang kehidupan, dan yang khusus bagi realita dalam suatu lapangan kehidupan tertentu.

Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalma menggolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya masing-masing.

Max Sscheler mengemukakan bahwa nilai yang ada tidak sama luhurnya dan tidak sama tingginya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Menurut tinggi rendahnya nilai dapat digolongkan menjadi empat tingkatan sebagai berikut : 1) Nilai-nilai kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan indra manusia sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan dalam kaitannya dengan indra manusia (die Wertreidhe des Angenehmen und Unangehmen), yang menyebabkan manusia senang atau menderita atau tidak enak, 3) Nilai-nilai kehidupan, yaitu dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, yaitu dalam tingkatan ini mendapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, manusia (wertw des Vilalen Fuhlens) misalnya kesegaran jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum. 3) Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani ataupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini antara lain nilai keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. 4) Nilai-nilai kerokhanian, yaitu dalam tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci (Wer Modalitat der Heiligen und Unbeilingen). Nilai-nilai semacam itu terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi (Driyarkara, 1978).

Pandangan dan tingkatan nilai tersebut menurit Notonagoro dibedakan menjadi tiga macam yaitu : 1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan, 3) Nilai-nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rokhani manusia yang dapat dibedakan atas empat tingkatan sebagai berikut : pertama, nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal, rasio, budi atau ciptaan manusia. Kedua, nilai keindahan atau estetis, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia. Ketiga, nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia. Empat, nilai religious, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak. Nilai religius ini berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan manusia dan nilai religius ini bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-

hierarkhis, di mana sila pertama yang Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya (Darmodiharjo, 1978).

Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat Pancasila yang umum universal yang merupakan substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang bersifat umum kolektif serta realisasi pengamalan Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit. Hakikat Pancasila adalah merupakan nilai, adapun sebagai pedoman negara adalah merupakan norma adapun aktualisasi atau pengamal-annya adalah merupakan realisasi kongkrit Pancasila. Substansi Pancasila dengan lima silanya yang terdapat pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan suatu sistem nilai. Prinsip dasar ynag mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal-hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkkan menjadi kenyataan kongkrit dalam kehidupannya baik dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Namun di samping itu prinsip-prinsip dasar tersebut sebenarnya juyga diangkat dari kenyataan real. Prinsip-prinsip dasar tersebut telah menjelma dalam tertib sosial, tertib masyarakat dan tertib kehidupan bangsa Indonesia yang dapat ditemukan dalam adat-istiadat, kebudayaan serta kehidupan keagamaan bangsa Indonesia. Secara demikian ini sesuai dengan isi yang terkandung dalam Pancasila serta secara ontologis mengandung tiga masalah pokok dalam kehidupan manusia yaitu bagaimana seharusnya manusia itu terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap dirinya sendiri serta terhadap manusia lain dan masyarakt sehingga dengan demikian maka dalam Pancasila itu terkandung implikasi moral yang terkandung dalam substansi Pancasila yang merupakan suatu nilai.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu sampai dengan lima merupakan cita-cita harapan, dan dambaan bangsa Indonesia yang akan mewujudkannya dalam kehidupannya. Sejak dahulu cita-cita tersebut telah didambakan oleh bangsa Indonesia agar terwujud dalam suatu masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja, dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan setiap manusia Indonesia.

2. Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal

Hakikat dapatdiartikan sebagai sesuatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah sesuatu lain dan bersifat mutlak.

Pengertian kata hakikat dapat dipahami dalam tiga kategori:

1. Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila pancasila merujuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang masing-masing memiliki kata dasar yang dibubuhi awalan dan akhiran. Kedua macam awalan dan akhiran itu abstrak atau kesamaan dalam maksud yang pokok ialah membuat mujarad.

2. Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat ini menunjuk pada ciri-ciri khusus sila Pancasila yang ada pada Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama, kebudayaan, sifat, dan karakter bangsa Indonesia.

3. Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat ini terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara, yaitu sebagai pedoman dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Susunan Pancasila adalah hierarki dan berbentu piramidal. Pengertian matematis piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kwan-titas) dan juga dalma hal isi sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.

Kesatuan sila-sila Pancasila yang memiliki susunan hierarkhis piramidal ini maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerak-yatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, kerakyatan serta berkeadilan sosial sehingga di dalam setiap sila senantiasa terkandung sila-sila lainnya.

Secara ontologism hakikat sila-sila Pancasila mendasarkan pada landasan sila-sila Pancasila yaitu : Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil (Notonagoro, 1975 : 49).

Berdasarkan hakikat yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan Pancasila sebagai dasar filsafat negara, maka segala hal yang berkaitan dengna sifat dan hakikat negara harus sesuai dengan landasan sila-sila Pancasila. Hal itu berarti hakikat dan inti sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut : sila pertama Ketuhanan adalah sifat-sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat Tuhan, sila kedua kemanusiaan adalah sifat-sifat dan keadaan negara yang harus sesuai dengna hakikat manusia. sila ketiga persatuan adalah sifat-sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat satu, sila keempat kerakyatan sifat-sifat dan keadaan negara yang harus sesuai dengan hakikat rakyat, sila kelima keadilan adalah sifat-sifat dan keadaan negara yang harus sesuai dengan hakikat adil. (Notonagoro, 1975 : 50).

Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian antara hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila dengan negara, dalam pengertian kesesusaian sebab dan akibat. Makna kesesuaian tersebut adalah sebagai berikit, bahwa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (sebagai sebab) (hakikat sila I dan 2) yang membentuk persatuan mendirikan negara dan persatuan manusia dalam suatu wilayah disebut rakyat (hakikat sila III dan IV), yang ingin mewujdkan suatu tujuan bersama yaitu suatu keadilan dalma suatu persekutuan hidup masyarakat negara

(keadilan sosial) (hakikat sila V) Demikianlah maka secara konsisten negara haruslah sesuai dengan hakikat Pancasila.

Rumusan Pancasila yang bersiat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal

1. Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sika Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, serta meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bago seluruh rakyat Indonesia.

5. Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi

Kesatuan sila-sila Pancasila yang “Majemuk Tunggal”, “Hierarkhis Piramidal” juga memiliki sifat saling mengkualifikasi. Hak ini dimaksudkan bahwa dalam setiap sila terkandung nilai keempat sila lainnya, atau dengan lain perkataan dalam setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya. Adapunrumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkuali-fikasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

c. Persatuan Indonesia, adalah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, brkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/perwakilan, adalah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan berkeadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia.

e. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalma permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975 : 43,44).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar